Pakar kontra-terorisme dari Deakin University, Profesor Greg Barton, menjelaskan terduga serangan teroris di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, memakai beberapa senjata. Diantaranya serupa senapan serbu AR-15 bikinan Amerika Serikat (AS).
Penembakan berdarah dingin yang menewaskan 49 orang itu dikerjakan Brenton Harrison Tarrant, 28, pria Australia.
Baca juga : Biaya Kuliah IKJ - Pendaftaran IKJ
Barton menjelaskan senapan serbu AR-15 ialah senjata yang dipakai dalam beberapa pembantaian di AS, termasuk juga penembakan massal di Las Vegas yang menewaskan 58 orang pada tahun 2017.
"Striker itu memakai beberapa senjata, satu shotgun, satunya (mirip) AR-15. (AR-15), itu yang dikatakan sebagai senjata sipil yang sama dengan M-16. Itu ialah senapan serbu," tuturnya.
"Apakah yang kami lihat mengganggu. Penembakan yang mematikan, itu penyebabnya kami saat ini mempunyai 49 orang meninggal, mungkin bahkan juga semakin banyak kembali yang akan tiba," katanya, diambil ABC.net.au, Sabtu (16/3/2019).
"Itu tunjukkan ketidaksamaan yang dapat dibikin oleh satu senjata. Kami belumlah lihat senjata dalam penyerangan ini dipakai di Australia serta Selandia Baru. Saya pikir saat ini kita mesti melawan fakta jika (senjata) itu bebas (tersebar)," lanjut ia.
Menurut laporan alat itu, jumlahnya senjata yang tersebar di kelompok sipil Selandia Baru hampir 2x lipat dibanding dengan di Australia. Laporan yang mencuplik The Small Arms Survey memprediksi Selandia Baru mempunyai 1,2 juta senjata untuk 4,6 juta populasi pada tahun kemarin. Akan tetapi, beberapa laporan alat memprediksi angkanya sampai 1,5 juta.
Baca juga : Biaya Kuliah UNIPA - Pendaftaran UNIPA
Menjadi perbandingan, untuk tiap-tiap 100 orang di Amerika Serikat ada 120 senjata. Menurut The Small Arms Survey, Selandia Baru ada di rangking ke-18 dalam dunia untuk tingkat kepemilikan senjata sipil, tambah tinggi dari Kosovo, Pakistan serta Irak.
Pemerintah Selandia Baru akan melarang senjata semi-otomatis sesudah serangan teroris di dua masjid di Christchurch. Gagasan itu telah diumumkan Perdana Menteri Jacinda Ardern.
No comments:
Post a Comment