Pakar hukum pidana Kampus Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Chaerul Huda memiliki pendapat pihak yang dapat dikenai aplikasi pertanggungjawaban mutlak dengan kata lain strict liability dalam UU No. 32/2009 mengenai Perlindungan serta Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu bila dapat dibuktikan yang lakukan orang perusahaan, sesuai sama maksud perusahaan serta untungkan perusahaan.
" Jadi tidak semata mata demikian ada api di konsesi korporasi serta menyebabkan asap segera dikenai pasal strict liability, ” kata dia Dr Chaerul Huda di Jakarta, Selasa (20/6).
Baca juga: Biaya Kuliah UNDIP - Biaya UKT UNDIP
Terpisah pengajar IPB Basuki Sumawinata memiliki pendapat, aplikasi strict liability dalam UU No. 32/2009 semestinya diberlakukan pada semuanya pihak penanggung jawab konsesi jadi subyek hukum untuk penuhi unsur keadilan untuk semuanya pihak.
Menurut Basuki, pasal 88 yang mengatur pertanggungjawaban dengan tafsir sesungguhnya begitu terang mengatur ketetapan itu. Pasal itu berbunyi : Tiap-tiap orang yang perbuatannya, usahanya, serta/atau aktivitasnya memakai B3, hasilkan serta/atau mengelola limbah B3, serta/atau yang menyebabkan ancaman serius pada lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang berlangsung tanpa ada butuh pembuktian unsur kekeliruan. “Jika ditafsirkan, semuanya pihak semestinya memiliki tanggung jawab yang sama, ” kata Basuki.
Merujuk pada ketetapan itu, semestinya dalam masalah kebakaran 20 hektare rimba gambut di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Desa Ie Meudama, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Propinsi Aceh, minggu lantas, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dapat disuruhi pertanggungjawaban.
Hal semacam ini perlu, bukanlah untuk menyalahkan, namun untuk tunjukkan prinsip serta tanggung jawab pemerintah melindungi lingkungan. Terlebih, lokasi Suaka Margasatwa Rawa Singkil adalah lokasi lindung. Diluar itu. Rawa Singkil adalah daerah tangkapan air untuk warga sekitaran yang perlu dijaga.
Basuki yang sering jadi saksi pakar dalam banyak masalah kebakaran Llahan menginginkan, pemerintah butuh berlaku adil karna tanggung jawab melindungi rimba adalah tanggung jawab dengan.
" Tidak adil cuma menimpakan kekeliruan pada satu pihak karna di satu lokasi ada pemerintah, orang-orang serta korporasi. Bagaimana impelentasinya bila lahan yang terbakar adalah ruang perseteruan. Siapa yang disuruhi pertanggungjawaban, " kata Basuki.
Disamping itu, anggota Ombudsman, Laode Ida mengapreasiasi langkah Paduan Entrepreneur Kepala Sawit Indonesia (Gapki) untuk mencabut uji materi berkaitan UU No. 32 tahun 2009 ke MK. Jadi pemecahannya, kata Laode menginginkan pemerintah mesti dapat membuat komunikasi yang baik dengan korporasi supaya beragam ketentuan yang ada dapat diaplikasikan serta tidak menyebabkan problem masa datang.
Masalah paling besar terlebih yang dihadapi industri sawit yaitu pemerintah belum juga dapat merajut komunikasi yang intensif dengan dunia usaha. Walau sebenarnya komunikasi itu begitu dibutuhkan berikan kepastian investasi.
Baca juga: Biaya Kuliah BINUS
Laode mengungkap, sampai kini, pihaknya terima banyak yang dirasakan dari beragam beberapa pemangku kebutuhan berkaitan efek yang diakibatkan dari ketentuan yang diputuskan pemerintah. Umpamanya, dari PP 57 Tahun 2016 mengenai gambut yang dipandang tidak memberi kepastian hukum dalam berinvestasi.
" Mesti diakui, tidak dapat satu kebijakan diterbitkan, tetapi tidak memberi kepastian hukum dalam melakukan bisnis. Tidak dapat itu sesuai sama itu. usaha ini sebenarnya bukanlah masalah yang memiliki bisnisnya tapi yang terutama orang-orang yang memakai. Kesibukan usaha itu yang paling perlu karna disanalah orang-orang memperoleh pendapatan.
No comments:
Post a Comment